CERMAT KITA – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan hukuman berat kepada mantan Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta, pada Rabu (3/12/2025). Arif Nuryanta divonis 12,5 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan. Vonis ini dijatuhkan setelah hakim menyatakan Arif terbukti secara sah dan meyakinkan menerima suap senilai total Rp 14.734.276.000 (Rp 14,7 miliar) terkait pengurusan perkara vonis lepas korupsi minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO).
Vonis Lebih Ringan dari Tuntutan, Namun Tegas
Putusan yang dibacakan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor ini memang lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang sebelumnya menuntut Arif Nuryanta dengan pidana penjara 15 tahun. Meskipun demikian, majelis hakim menegaskan bahwa perbuatan terdakwa merupakan tindak pidana korupsi yang sangat serius, terutama karena dilakukan oleh seorang pejabat tinggi di lembaga peradilan. Dalam pertimbangan hakim, Arif Nuryanta dinilai telah mencoreng marwah institusi pengadilan dan memperdagangkan keadilan (sebagaimana disebut oleh hakim sebagai ‘makelar kasus’), yang seharusnya ia junjung tinggi.
Selain hukuman pokok penjara dan denda, hakim juga menjatuhkan piduman tambahan berupa kewajiban membayar uang pengganti senilai Rp 14.734.276.000. Majelis hakim memerintahkan agar harta benda Arif Nuryanta yang tidak mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut dapat dirampas dan dilelang oleh negara. Jika terpidana tidak sanggup membayar uang pengganti tersebut, maka akan diganti dengan pidana kurungan selama 5 tahun.
Peran Sentral dalam Skandal Vonis Lepas Migor
Kasus suap ini berpusat pada upaya pengurusan vonis lepas ( onslag van rechtsvervolging) dalam perkara korupsi tata niaga ekspor CPO atau minyak goreng yang ditangani oleh PN Jakarta Pusat (saat kejadian, Arif Nuryanta juga menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat). Majelis hakim Tipikor menguraikan bahwa Arif Nuryanta, bersama-sama dengan pihak lain, termasuk seorang panitera dan tiga hakim yang menyidangkan perkara CPO, menerima suap dari pihak swasta untuk memuluskan putusan yang menguntungkan terdakwa korupsi CPO.
Tiga hakim yang turut serta dalam perkara tersebut, yakni Djuyamto, Ali Muhtarom, dan Agam Syarief Baharudin, juga telah divonis sebelumnya dengan hukuman 11 tahun penjara. Sementara itu, seorang panitera PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan, yang berperan sebagai perantara dan ikut menerima suap, divonis 11,5 tahun penjara. Total suap yang mengalir dalam skandal vonis lepas perkara CPO ini, sebagaimana ditetapkan oleh majelis hakim, mencapai angka fantastis yaitu sekitar Rp 39,1 miliar. Uang suap diterima oleh Arif Nuryanta dkk dengan tujuan agar perkara tersebut diputus dengan putusan lepas.
Menyambut Putusan, Terdakwa dan Jaksa Pikir-Pikir
Menanggapi putusan majelis hakim, baik Muhammad Arif Nuryanta maupun Jaksa Penuntut Umum menyatakan pikir-pikir. Hal ini berarti kedua belah pihak diberikan waktu untuk mempertimbangkan apakah akan menerima putusan tersebut atau mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi.
Kasus ini menjadi sorotan tajam publik, mengingat suap melibatkan pimpinan dan perangkat pengadilan dalam kasus korupsi yang juga menyangkut hajat hidup masyarakat (minyak goreng). Vonis 12,5 tahun penjara terhadap Eks Ketua PN Jakarta Selatan ini diharapkan dapat menjadi peringatan keras dan memberikan efek jera, sekaligus mengembalikan kepercayaan publik terhadap proses hukum di Indonesia. Meskipun demikian, penegakan hukum dalam kasus ini masih akan terus berlanjut tergantung pada keputusan banding yang akan diambil oleh terdakwa maupun jaksa.